Mon Oct 28
Wanda Hamidah: Kalau Pilkada Cuma Satu Pasang, Monyet Juga Bisa Jadi!
2024-08-22 HaiPress
JAKARTA,KOMPAS.com - Mantan politikus Partai Golkar Wanda Hamidah merasa geram dengan upaya DPR yang merevisi Undang-Undang Pilkada setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas pilkada.
Sebab,langkah itu menggerus harapan untuk memunculkan calon lain sebagai lawan calon yang diusung partai pendukung pemerintah,seperti yang terjadi di Jakarta.
"Kalau pilkadanya masih satu pasangan,masih pilihan elite,ya boikot saja pilkadanya. Enggak usah ada pilkada,enggak usah ada pilpres!" ujar Wanda saat ikut demo di Gedung Mahkamah Konstitusi,Jalan Medan Merdeka Barat,Kamis (22/8/2024).
Baca juga: Habiburokhman Ditimpuki Botol Saat Orasi di Depan Gedung DPR
Menurut dia,pilkada akan menjadi preseden buruk jika hanya diikuti satu pasangan calon saja. Sebab itu artinya,siapa pun yang dicalonkan oleh penguasa pasti akan menang.
Tidak ada persaingan visi dan misi yang ditawarkan kepada masyarakat. Masyarakat dipaksa menerima siapa pun yang diberikan kepada mereka.
"Enggak perlu orang baik,enggak perlu orang pintar,enggak perlu orang yang disukai rakyat,enggak ada kompetisi. Kau pasang monyet juga jadi kalau cuma sepasang," kata Wanda.
"Ini jadi preseden buruk buat di 33 provinsi dan ratusan kabupaten desa. Bayangin enggak kamu punya pemimpin monyet semua," tambah Wanda.
Baca juga: Tolak Revisi UU Pilkada,Said Iqbal: Kenapa Takut Bertarung Adil? Jangan Jadi Pengecut!
Sebelumnya,Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024,yang diajukan oleh Partai Buruh dan Gelora.
MK memutuskan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya,atau 20 persen kursi DPRD.
MK menetapkan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan ambang batas pencalonan jalur independen/perseorangan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.
Sehari setelah putusan,DPR dan pemerintah langsung menggelar rapat untuk membahas revisi UU Pilkada.
Baca juga: Mamat Alkatiri: Jangan Mau Lagi Kita Dipecah Belah
Namun,revisi yang dilakukan tidak sesuai dengan putusan MK. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR,Achmad Baidowi,mengeklaim bahwa revisi UU Pilkada dilakukan untuk mengakomodasi putusan MK yang membolehkan partai nonparlemen mengusung calon kepala daerah.
Awiek,sapaan akrabnya,menyebutkan bahwa UU Pilkada direvisi untuk memastikan putusan MK termuat dalam Undang-Undang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Penafian: Artikel ini direproduksi dari media lain. Tujuan pencetakan ulang adalah untuk menyampaikan lebih banyak informasi. Ini tidak berarti bahwa situs web ini setuju dengan pandangannya dan bertanggung jawab atas keasliannya, dan tidak memikul tanggung jawab hukum apa pun. Semua sumber daya di situs ini dikumpulkan di Internet. Tujuan berbagi hanya untuk pembelajaran dan referensi semua orang. Jika ada pelanggaran hak cipta atau kekayaan intelektual, silakan tinggalkan pesan kepada kami.